Bangun
pagi, mandi, sarapan sambil nonton ‘Sport7 Pagi’, lalu berangkat sekolah. Jalan
sekitar satu koma lima kilometer sebelum sampai di jalan raya, kalau sepeda
bututku lagi bersahabat maka aku beruntung bisa nonton berita olahraga sampai
bubar karena ngga perlu jalan kaki. Lalu lanjut naik bus umum yang sesaknya
minta ampun. Maklum saja, tahun 2008 sepeda motor belum sebanyak sepuluh tahun
kemudian.
Sekolahku,
gerbangnya selalu terbuka, jadi ngga ada kata tidak masuk jika terlambat.
Guru-gurunya bersahabat, meski beberapa memang masih menerapkan sistem hierarki
yang mengharapkan murid-muridnya sendiko dawuh dengan kata-kata dan
perintahnya, over all beliau-beliau adalah orang baik. Meski definisi baik juga
sebenarnya relatif.
Sekolahku
masuk ke dalam kategori bangunan cagar budaya. Jadi, konon, karena itulah
bangunan-bangunan intinya tidak boleh dirubah baik bentuk maupun penampilannya.
Walhasil, bangunan-bangunan baru yang kini mengah bersanding dengan bangunan
kuno di sisi dalam sekolah.
Tahun
2008, muridnya belum sebanyak tahun ini. Mungkin sekitar 750 siswa, kurang atau
lebih sedikit. Lapangannya juga masih
luas, alih-alih menyebut lapangan, siswa-siswa dari sekolah lain justru
menyebutnya dengan alun-alun. Entah mereka takjub karena nggak punya lapangan
selebar itu, atau mereka sebenarnya sedang ngece, lapangannya lebih luas dari
pada ruang belajarnya, tak seperti sekolah pada umumnya.
Bahkan,
tahun 2007, sebelum sebagian lapangan dibangun ruang kelas, tepi-tepi jalannya
tumbuh tinggi pohon yang entah apa namanya, tapi kalau sudah berbunga, waaahhhh,
jangan tanya soal keindahannya. Saat kita berjalan dibawahnya, kelopak-kelopak
bunga yang dominan warna kuning berguguran menyiram wajah kita. Apalagi kalau
siang, saat angin mulai menyisir dedaunan. Kami menyebutnya bunga sakura. Sakura
ala ala siswa yang membayangkan Jepang.
Di
tahun ajaran terakhir, hampir setiap siswa sudah menggunakan handphone (jika
disebutka merk dan tipenya, sekarang pasti dicap jadul, meski ada beberapa yang
sudah canggih. Definisi canggih saat itu adalah mampu memotret, menyetel
musik mp3, setingkat lebih tinggi adalah dilengkapi antena televisi)
Dulu
kami tak mengenal media sosial kecuali friendster, itupun tak banyak yang pakai.
Paling hanya iseng bikin di warnet, habis itu udah, ngga pernah dibuka lagi.
Nyatanya yang seperti ini justru membuat kami - para siswa - berinteraksi dengan lebih nyata.
Lebih akrab, dan kemudian menjadi lebih bersahabat.
***
Ah,
masa-masa sekolah memang selalu saja menjadi kenangan yang paling dirindukan
oleh orang - yang katanya - sudah dewasa (termasuk juga aku). Mengapa??
Padahal, dulu, waktu masih sekolah, ngebet banget pengin cepet lulus. Biar bisa
cepet kerja. Dan yang paling utama adalah biar bisa menghasilkan duit dari
keringet sendiri. Secara, menyandang predikat siswa duitnya ngga seberapa. Pengin
ini, pengin itu, sabar dulu, hemat dulu, nabung dulu. Kecuali bagi siswa yang bokap
nyokapnya tajir melintir.
Setidaknya,
begitu yang aku pikirkan. Kalau beberapa atau banyak orang yang pengin cepet
lulus karena ingin segera mengaplikasikan ilmunya, salut deh buat mereka.
Karena mereka termasuk jajaran manusia yang dibutuhkan negara dan masyarakat di
Bumi ini.
Jadi, dik. Yang saat ini
masih sekolah, yang pengin cepet-cepet lulus biar bisa kerja, percayalah, dunia
kerja ngga sesimple ‘kerja dapat duit’, dik. Banyak hal-hal yang nyatanya
membuatmu ingin kembali saja ke bangku sekolah. Maka dari itu, nikmatilah
masa-masa sekolahmu dik. Tanpa bermaksud menggurui, belajarlah yang benar dan bermainlah
sewajarnya anak sekolah.
(simpleannia.blogspot.com)
How to Play Baccarat at Betfair - Worrione.com
BalasHapusThe concept behind the Baccarat card game is the use of five hands. It's a classic of Baccarat and the same kadangpintar type of Baccarat 바카라사이트 that you can play 바카라