Minggu, 07 Oktober 2018

Filosofi Merajut, Bukan Soal Hasil Karya


Malam ini aku senang bukan main karena karya pertamaku telah rampung. Ya, aku baru saja selesai membuat dompet koin dari benang yang dirajut. Meskipun hasilnya masih jauh dari kata rapi dan bagus, aku tetap tak bisa berhenti bersyukur dan berucap Alhamdulillah. Setidaknya jerih payahku selama ini membuahkan hasil.

Jerih payah??

Iya, aku telah terlebih dahulu menonton puluhan video tutorial merajut di YouTube yang mengorbankan bergiga-giga kuota internet sebelum memutuskan untuk beli benang, jarum  serta bahan pendukung lainnya untuk merajut.

Pada tahapan awal belajar, ada banyak benang yang terbuang karena salah bikin simpul, korban uji coba ikatan dasar yang salah-salah melulu, serta bingung konsep alias ngga tau mau bikin apa. Dan tentu saja, ada banyak waktu yang tersita demi itu semua.

Padahal, saat menonton video tutorial, aku berpikir 'ah bisa' ; 'ah mudah' ; 'ah, cuma gitu doang' dan sejuta pikiran positif lainnya yang tidak aku sangka ternyata pada prakteknya begitu njlimet dan mbingungi.

Setelah belajar sekian minggu dan tak kunjung bisa, akhirnya aku bosan dan putus asa. Kumasukkan semua alat dan bahan merajut yang telah aku beli ke dalam kotak, lalu kusimpan di atas lemari. Ada sedikit penyesalan telah membeli barang-barang yang ternyata tak berguna ini. Aku menyerah.

Sampai pada suatu hari setelah berbulan-bulan kemudian, bahkan tahun pun telah berganti, ada toko baru di sebelah tempat kerjaku yang menjual barang-barang hasil rajutan seperti tas, dompet serta bahan dan alat yang diperlukan dalam merajut. Yang paling menarik adalah terdapat tulisan 'Kursus Gratis' pada banner yang terbentang di sisi depan toko.

Merasa dapat pencerahan akan nasib benang-benang di atas lemari, aku pun bergegas ke toko tersebut. Setelah melihat-lihat barang yang dipajang pada etalase dan ram gantung, aku memberanikan diri bertanya perihal 'Kursus Gratis'. Tak ketinggalan aku juga bercerita bahwa aku pernah belajar merajut yang akhirnya mandeg karena ndak bisa-bisa.

Jawaban ibu-ibu penjaga toko (sepertinya sang pemilik toko) ini sungguh di luar harapkanku.

Aku berharap beliau akan menjawab: "Kursus di sini aja, nanti diajarin sampai bisa."

Tapi ternyata: " Mbaknya pasti ndak telaten, belum bisa sudah putus asa. Kalau telaten pasti bisa."

Untuk sesaat aku terdiam, terpaku, dan malu karena apa yang beliau katakan benar adanya.

Akupun mengurungkan niatku untuk mendaftar kursus gratis di toko tersebut. Alih-alih menghilangkan pandangan underestimate dari beliau (atau cuma perasaanku saja kah? 🤔🤔) , aku pun bertanya perihal ketersediaan jarum rajut nomor sekian dan sekian, aku mau beli.

Saat fix bau dibayar, ternyata duitku kurang. Jadilah aku ijin ke beliau untuk menunda transaksi. Aku bilang akan datang lagi besok.

Dua hari kemudian akhirnya aku benar-benar membeli jarum yang sebelumnya urung dibayar. Karena kemarin dan hari sebelum kemarin banyak urusan. Kebetulan, jam buka dan tutup toko tersebut sama dengan jam masuk dan pulang kerjaku.

Berbekal perasaan terintimidasi saat sang penjual bilang bahwa aku ini pasti ndak teleten dan gampang menyerah, aku bongkar kotak yang sudah begitu kotor tertimpa debu dan ramat.

Kudownload lagi video tutorial merajut yang telah aku hapus sebelumnya. Kali ini kuamati baik-baik, dengan lebih serius.
Lalu aku mulai merajut, perlahan, seikat demi seikat. "Mbaknya pasti ndak teleten... Bla bla bla...." terus terngiang di telingaku. Gerak bibir dan tatapan (yang menurutku merendahkan) dari ibu itu terus mengganggu otakku.

Akan ku buktikan bahwa aku bisa tanpa harus kursus di tempat tersebut. Mungkin saat itu, ibu itu tak bermaksud apapun padaku, beliau hanya menyampaikan masalah yang ada pada diriku kenapa tak kunjung bisa merajut. Beliau berharap aku lebih telaten untuk belajar. Kuncinya adalah 'telaten'. Tapi, mungkin saat itu aku sedang sensi, sehingga menangkap dengan negatif apa yang beliau sampaikan.

Apapun itu, aku sepatutnya berterima kasih pada beliau, karena perkataan dan mimik beliau telah membangunkan semangatku untuk kembali belajar merajut. Dan malam ini, aku bisa tersenyum setelah dompet recehku selesai dipasang resleting, lengkap dengan bandul kunci yang juga aku beli di toko rajut milik ibu itu.

Sekedar tambahan, untuk memasang resletingnya saja, aku bongkar pasang berkali-kali karena posisi yang tak kunjung pas. Dan nggak sebentar, alias lama. Sampai mandeg ngopi dulu.

At the end, merajut benar-benar memberi banyak pelajaran bagiku. Ini bukan hanya soal membuat wadah receh. Merajut adalah tentang kemauan, kesabaran, ketelatenan dan sikap pantang menyerah. Tepat seperti apa yang dikatakan sang ibu pemilik toko sebelah itu. Pantas lah jika dalam meraih cita-cita, orang-orang sering kali menyebutnya dengan istilah 'merajut asa'. Ya, merajut.

Dan ternyata, kita bisa menjadikan omongan orang sebagai motivasi, sebagai penyemangat, bukan sebagai peluruh cita-cita atau keinginan. Sepanjang apa yang kita ingin capai memang merupakan hal baik lagi positif.

Thanks for reading... and c y... 😁🙏🙏



☘️ simpleannia.blogspot.com ☘️


Tidak ada komentar:

Posting Komentar