Minggu, 20 Agustus 2017

Tiket Surga

 Melawan lupa....

***

Jika diingat-ingat, waktu sekolah dulu, tiap hari Jumat selalu ditarik dana infak oleh pihak sekolah melalui perwakilan siswa. Dan selalu dengan embel-embel 'seikhlasnya' atau 'jika ada'. Artinya tidak memaksakan. Sepertinya sekolah sedang mengajarkan kami untuk berbagi - dengan ikhlas.

Waktu SD, iuran biasanya bekisar 100-200 rupiah. Saat SMP paling banter 500. Meski masih ada yang 100 atau 200 atau engga ngasih. Kan ngga maksa...

Dulu, nilai segitu tidak sedikit untuk ukuran anak desa sepertiku. Itu setara dengan uang saku yang diberikan emak tiap pagi.

Hingga suatu Jumat di kelas 3 SMP...

***

Pagi itu sedang berlangsung pelajaran Bahasa Inggris, sebelum kedatangan siswa yang tampak ragu untuk mengetuk pintu kelasku yang terbuka. Maklumlah, guru yang sedang mengajar dikenal sangat killer.

Jaman dulu mah, gurunya killer-killer (meski ada yang baik sie beberapa). Kalau kami nih, para murid berbuat salah, entah itu salah menjawab pertanyaan atau salah ngobrol sendiri pas pelajaran, walhasil, penggapus bakal melayang. Atau penggaris yang berayun. Penggarisnya bukan main-main. Itu penggaris kayu yang tebel lagi panjang. Kena betis, bahu atau punggung itu mantap sekali, bisa lebam berhari-hari.

Bahkan, untuk anak badung yang berani bolos jam pelajaran, atau ketahuan merokok, atau jenis kenakalan remaja lainnya, Guru tak segan-segan menampar, lengkap dengan bentakan yang menggelegar bak petir yang menyambar langit.

Untuk pemula, mungkin langit itu hati, alias bikin deg-degan. Tapi untuk yang sudah biasa, langit itu telinga, alias bikin budeg. Hehehe... Kami mah boro-boro ngelawan. Natap mukanya aja ngga berani. Apalagi ngadu ke orang tua. Aisshhhh..... Alih-alih dibela, kami justru bakal diomelin. Stigma guru - digugu lan ditiru masih berlaku saat itu. Jika kami dihukum artinya kami lah yang salah - versi kacamata orang tua. Dan itu mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Yang menggugat ke sekolah bakalan bikin malu, asli malu-maluin. Bisa-bisa besoknya dikatain anak mamih atau anak papih.

Salah-salah malah kami dapat pukulan tambahan dari ortu. Dulu, di jaman saya masih menyandang predikat siswa, ngga ada cerita guru masuk penjara karena memukul siswanya di sekolah.

Okke kembali ke lap...top...

Saat Pak guru Bahasa Inggris (kita sebut saja Mr. X ) sedang mengajar, datanglah siswa dari kelas lain. Aku lupa apakah dia anak OSIS yang bertugas narik infak atau bukan. Pokoknya datanglah kotak kayu berwarna coklat tua, ukurannya mungkin 15x15x15 cm, kubus tanpa tutup. Bertuliskan "INFAK" warna putih.

Seperti biasa, secara otomatis tangan-tangan kami langsung merogoh saku. Mencari receh, dan memasukkannya - yang terkecil nominalnya, hehehe... sepertinya sistem kerja otak sudah seotomatis itu.

Ada yang 100, 200, 500. Ada pula yang 1.000 tapi hanya satu atau dua siswa saja. Ada yang ngasih 1.000 tapi ngambil kembalian. Membuat kelas riuh sejenak dengan haha hihi kami.

"Sing penting ikhlas... >> (Yang penting ikhlas)" celetuk salah satu temanku di kelas.

Mr. X yang sedari tadi hanya diam ternyata memperhatikan berapa yang kami taruh ke kotak infak. Kemudian angkat suara, "Tiket surga 500." nadanya datar tapi ngena.

"Seikhlase si seikhlase, tapi masa iya 500. Infak kue tiket mlebu surga! Nang surga kue apa-apa ana. 500 olih mambune tok, be mbuh olih apa ora." >> (Seikhlasnya ya memang seikhlasnya, tapi masa iya 500. Infak itu tiket masuk surga! Di surga itu apa-apa ada. 500 cuma dapat baunya saja. Itu pun entah dapat atau tidak.)

"Sewu!!!" seru beliau mantap. "Aja pelit!!! Pengin mlebu surga pelit!" dengan nada sedikit menyindir. >>  ("Seribu!!!" seru beliau mantap. "Jangan pelit!!! Ingin masuk surga pelit." dengan nada sedikit menyindir.)

- J L E B !!! -

***

Aku lulus tahun 2006, berarti kejadian itu sekitar 11 tahun yang lalu. Dan kata-kata Mr. X masih sering terngiang hingga kini.

Seolah mendobrak paradigma tentang berinfak, setidaknya versi diriku sendiri. Benar juga, ikhlas, terkadang harus dipaksa dengan logika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar